Rabu, 02 Mei 2012

Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil


A.   Pendahuluan
Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.
Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi wafat dan peresmiannya 200 tahun setelah Nabi wafat. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya barasal dari Nabi. Maka dari itu perlu adanya ilmu al-Jarh-wa al-Ta’dil.
Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal, perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW. sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara saksama karena terjadinya pertikaian bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.[1]
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu (maudhu’)
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[2]


B.   Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara etimologis, al-jarh merupakan isim mashdar dari kata jaraha-yajrahu yang berarti melukai. Baik luka yang berkenaan dengan fisik maupun non fisik. Kata Jaraaha bila dipergunakan hakim di pengadilan yang ditujukan pada masalah kesaksian memiliki makna tertentu, yakni menggugurkan keabsahan saksi.[3]
Secara terminologis al-jarh didefenisikan oleh Muhammad ‘Ajjal al-Khathib sebagai:
ظهور وصف فى الراوى يفسد عدالته أو يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوط روايته أو ضعفها وردها
“munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah atau bahkan tertolak riwayatnya.”
Sedang kata at-tajrih berarti:
وصف الراوى بصفات تقتضى تضعيف روايته أو عدم قبولها
“mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan lemahnya periwayatan atau tidak diterimanya riwayat yang disampaikannya.”
Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh dan at-tajrih dan sebagian lagi membedakan penggunaan kedua kata tersebut. Para ulama yang membedakan penggunaan dua kata tersebut beralasan kata al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang, karena memang telah tampak dengan sendirinya pada orang tersebut. Sedang at-tajrih berkonotasi pada upaya aktif untuk mencari-cari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.[4]
Adapun al-‘adl secara etimologi berarti: 
ماقام فى نفوس أنه مستقيم
“Sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bahwa sesuatu itu lurus.”
Sedangkan secara terminologi adalah:
من لم يظهرفى امر اللدين ومروئته مايخل بهما فيقبل لذالك خبره وشهادته إذا توفرت فيه بقية الشرط
“orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan muru’ah (keperwiraannya), sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima, apabila ditemui syarat-syarat yang lain”
Sedangkan kata at-ta’dil secara etimologis adalah isim mashdar  dari kata ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian secara terminologis at-ta’dil  bermakna:[5]
وصف الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خيره
“mensifati perawi dengan sifat-sifat yang baik, sehingga tampak jelas keadilannya dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.”
Berlandaskan definisi kata per-kata dari al-jarh wa at-Ta’dil  di atas, Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikan Ilmu al-jarh wa at-Ta’dil sebagai berikut:[6]
العلم الذى يبحث فى أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم  أوردها
“Ilmu yang membahas keadaan para rawi hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.”
C.   Sejarah Perkembangan Ilmu al Jarh wa at-Ta’dil
Sejarah pertumbuhan Ilmu al-jarh wa at-Ta’dil seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis, karena bagaimanapun juga untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadis yang maqbul dan yang mardud.
Embrio praktek men-Jarh dan men-Ta’dil sudah tampak pada masa Rasulullah yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin al-Walid dengan sebutan:[7]
نعم عبد الله خالد بن الوليد سيف من سيوف الله
“sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah.”
Selain dari riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah tentang al-jarh dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para sahabat. Kita dapat menemukan banyak kasus dimana sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadis. Keadaan demikian berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para pakar Ilmu Hadis berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para rawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap keridhaan Allah. Maka, apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang rawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.[8]
Begitu besar rasa tanggung jawab para ulama hadis dalam menilai kualitas rawi, mereka mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding amanah menyimpan emas, perak dan barang-barang berharga. Kiprah menilai keadaan para rawi ditegaskan berulangkali oleh para ulama hadis dalam rangka menjaga sunnah dari tangan-tangan perusak dan pemalsu hadis, yang pada gilirannya menjadi wasilah mengetahui kualitas dan nilai hadis.[9]
Dengan demikian pada dasarnya Ilmu al-jarh wa at Ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan dengan periwayatan hadis, yakni semenjak masa Rasulullah dan para sahabatnya. Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan Uswah dan tradisi semacam itu, untuk memenuhi titah Allah yang tertuang dalam (Q.S. (33) al-Ahzab: 70-71):
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #YƒÏy ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁムöNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr& öÏÿøótƒur öNä3s9 öNä3t/qçRèŒ 3 `tBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù y$sù #·öqsù $¸JŠÏàtã ÇÐÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.”
D.   Syarat Ulama al-jarh wa al-Ta’dil
Seorang ulama al-jarh wa al-ta’dil  harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya adalah:[10]
1.         Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafizh berkata, “ Seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.”
2.         Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “ Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3.         Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya , atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.[11]
E.   Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan bagi Ulama al-jarh wa al-Ta’dil.
Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka. Yang penting dalam melakukan tazkiyah dan jarh, orang tersebut hendaklah orang yang adil, laki-laki maupun perempuan, orang merdeka atau hamba.
Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya. Namun, kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa al-ta’dil apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya. Ibnu ash-Shalah berkata, “ itu adalah pendapat yang benar yang dipilih oleh al-Khatib dan lainnya, karena dalam hal diterimanya hadits tidak disyaratkan berbilangnya periwayat. Oleh karena itu, dalam penilaian jarh atau adilnya rawi tidak disyaratkan harus oleh sejumlah orang . lain halnya dengan hukum syahadah atau kesaksian.”
F.    Tata Tertib Ulama al-jarh wa al-Ta’dil
Ada beberapa point tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa al-ta’dil. Di antaranya yang terpenting adalah[12]:
1.         Bersikap obyektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya;sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2.         Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
3.         Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Karena sikap yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.
4.         Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya jarh tidak dapat dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan. Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak memberi faedah pada sebagian orang yang merasa berlebihan dalam berilmu dewasa ini. Mereka beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tanda kesempurnaan pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga terciptalah tradisi yang jelek, ketika mereka berdiskusi dengan salah seorang yang alim dalam suatu disiplin ilmu tertentu maka mereka akan berusaha mencela perbuatan-perbuatan pribadinya, mencari-cari kesalahannya, menyertakan ribuan kedustaan kepada satu kejujuran, mengemukakan kata-kata celaan kepadanya dengan cara membuat para pengikutnya tercengang. Tujuannya semata-mata ingin membungkam lawannya dengan cara seperti itu sehingga menjadikan forum diskusi sebagai forum caci-maki, mencari-cari kesalahan orang, dan permusuhan.[13]
Sabda Rasulullah saw:
كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap Muslim bagi Muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya, dan harga dirinya."
Bahkan dinyatakan bahwa beliau bersabda:
لَيْسَ المُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَااللَّعَّانِ وَلَاالفَاحِشِ وَلَاالبَذِيْءِ

“ Orang mukmin itu bukanlah tukang mencela, pengutuk, pelaku yang keji, dan yang kotor ucapannya.[14]
G.   Syarat Diterimanya al-jarh wa al-ta’dil.
1.    Syarat Pertama, al-jarh wa al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Nuruddin ‘ITR mengutip dari Al-Laknawi yang menjelaskan dalam kitab al-Raf’u wa al-Takmiil,[15] “wajib bagimu untuk tidak tergesa-gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi semata-mata karena ada penilaian sebagian ahli al-jarh wa al-ta’dil, melainkan engkau harus meneliti kebenarannya. Karena masalah ini amat penting dan banyak kendalanya. Anda tidak berhak menerima penilaian seluruh orang yang men-jarh terhadap rawi yang mana pun. Karena seringkali didapati suatu hal yang menyebabkan invaliditas suatu jarh.hal seperti ini banyak sekali bentuknya dan diketahui oleh mereka yang banyak menelaah kitab-kitab syari’ah. Antara lain adalah:
a.         Orang yang menilai jarh itu sendiri kadangkala orang yang di-jarh. Dengan demikian, penilaian al-jarh wa al-ta’dil-nya idak boleh diterima begitu saja selama tidak didapati penilaian yang sama dari orang lain.
b.        Orang yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulit dan memperberat. Mengingat ada sejumlah ulama al-jarh wa al-ta’dil yang sangat memperberat perkataan ini. Mereka menjarh para periwayat hanya karena kecacatan yang sangat sedikit. Orang seperti ini penilaian tsiqat-nya dapat diterima, sementara penilaian jarh-nya tidak dapat diterima begitu saja, melainkan bila ada penilaian serupa dari orang lain yang obyektif dan diperhitungkan. Di antara mereka ada Abu Hatim, al-Nasa’i, Ibnu Ma’in, Ibnu al-Qaththan, Yahya al-Qaththan, dan Ibnu Hibban. Mereka dikenal sebagai orang yang berlebihan dan terlalu keras dalam men-jarh. Maka hendaklah setiap peneliti bersikap hati-hati dan berpikir kritis terhadap rawi yang hanya dinilai jarh oleh mereka. Demikian penjelasan al-Laknawi.
2.    Syarat Kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus disertai penjelasan sebab-sebabnya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu al-Shalah hanya membahas pendapat ini dan tidak membahas pendapat-pendapat lain.
Ibnu al-Shalah berkata, “menurut pendapat yang benar dan masyur, ta’dil dapat diterima tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Ini karena sebab-sebabnya sangat banyak, dan untuk menyebutkannya seorang pen-ta’dil harus berkata seperti rawi Fulan itu tidak melakukan hal lain, tidak melanggar peraturan ini, bahkan melakukan itu dan itu; sehingga ia terpaksa membilang semua hal yang menyebabkan kefasikan bila dikerjakan atau ditinggalkan. Hal ini adalah suatu hal yang amat berat. Adapun jarh tidak bisa diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Ini karena dalam menentukan sebab-sebab jarh setiap orang berbeda dengan yang lainnya. Sehingga seseorang bisa dinilai jarh menurut persepsinya, sementara pada hakikatnya tidak demikian. Oleh karena itu, jarh harus dijelaskan sebabnya, agar dapat dilihat apakah benar jarh-nya atau tidak. Hal ini telah jelas ditetapkan dalam fiqh dan ushulnya.” Demikian keterangan Ibnu al-Shalah.[16]
3.    Syarat Ketiga, dapat diterima jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya. Demikianlah pendapat yang dipilih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh al- Nukhbah.[17] Ia berkata, “apabila periwayat yang di-jarh itu sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya, maka baginya berlaku jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bila hal itu diucapkan oleh seorang yang bijak. Demikian menurut pendapat yang terpilih. Pendapat ini beralasan bahwa periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya seakan-akan adalah periwayat yang majhul. Mengamalkan pernyataan penjarh itu lebih aik daripada menyia-nyiakannya.”
4.    Syarat keempat, jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi kediterimaannya. Maka bila ada hal-hal yang menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.
H.   Beberapa Hal yang Tidak Dapat Diterima pada al-jarh wa al-Ta’dil
1.    Ta’dil secara samar. Seperti seorang rawi berkata, “menceritakan kepadaku seorang yang tsiqat atau orang yang tidak aku curigai.” Tanpa disebut namanya. Hal ini bila terjadi maka menurut pendapat yang shahih riwayatnya tidak dapat diterima hingga ia menyebut nama rawi yang bersangkutan. Sebab meskipun rawi itu tsiqat menurutnya namun bila disebutkan namanya barangkali ia dijarh oleh orang lain dengan jarh yang mencacatkan. Bahkan dengan tidak menyebutkan nama akan menimbulkan semacam keraguan dalam hati.
Demikian pula bila seorang rawi berkata, “semua guruku adalah orang-orang yang tsiqat.” Pernyataan ini tidak dapat diterima sebagai tazkiyah (upaya membersihkan namanya), sehingga ia menyebutkan nama-nama gurunya itu. Akan tetapi, para ulama mengecualikan imam mujtahid, seperti imam malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad. Bila mereka mengatakan hal seperti itu, maka cukup bagi pengikut madzhabnya untuk menerimanya.[18]
2.  Ibnu Hibban berpendapat bahwa bila seorang rawi tidak jarh, atau orang yang di atasnya dan dibawahnya dalam sanad tidak jarh, sementara ia tidak pernah meriwayatkan hadits munkar, maka haditsnya dapat diterima. Oleh karena itu, seorang rawi yang majhul akan dinilai tsiqat bila ia meriwayatkan hadits dari rawi yang tsiqat dan orang yang meriwayatkan darinya adalah orang tsiqat, sementara ia tidak pernah meriwayatkan hadits munkar.
Jelas bahwa pernyataan Ibnu Hibban itu tidak dengan pasti menunjukkan bahwa rawi yang dimaksud itu adalah yang tsiqat. Sebab, banyak sekali rawi yang dha’if meriwayatkan hadits dari rawi yang tsiqat, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itulah maka Ibnu Hibban disifati sebagai ulama yang terlalu mudah menshahihkan hadits dan men-ta’dil-kan para rawi, dalam konteks ini yakni men-ta’dil periwayat yang majhul. Meskipun dari segi lain ia sangat keras dalam men-jarh karena suatu sebab yang sangat ringan yang ia ketahui.[19]
3.    Bila seorang rawi yang adil meriwayatkan hadits dari seorang rawi lain yang disebut namanya, maka hal itu bukanlah suatu ta’dil menurut kebanyakan ahli hadits. Pendapat ini benar karena para rawi yang adil itu meriwayatkan hadits dari rawi yang tsiqat dan dari rawi yang tidak tsiqat.
4.    pengamalan dan fatwa seorang alim yang sesuai dengan hadits yang diriwayatkan tidaklah berarti bahwa hadits itu pasti shahih. Demikian pula jika ia menyalahi suatu hadits, tidak berarti akan mencacatkan keshahihannya, atau para periwayatnya. Karena pengamalan seorang alim yang sesuai dengan hadits itu kadang-kadang disebabkan kehati-hatiannya atau karena ada dalil lain yang sesuai dengan hadits yang bersangkutan. Demikian pula pengamalannya yang menyalahinya, kadang-kadang karena ada salah satu kendala yang berat atau karena ta’wil. Imam Malik meriwayatkan hadits dari Nafi’dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
البَيْعَانِ بِا لخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli itu berada dalam khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan jual belinya sebelum mereka berpisah.”
Namun, ia sendiri tidak mengamalkan maknanya; dan hal itu tidak berarti mencacatkan Nafi’, rawi hadits tersebut. Dalam al-Muwaththa’ terdapat tujuh puluh buah hadits yang tidak diamalkan oleh Malik. Di antaranya terdapat hadits-hadits yang termaktub dalam shahihain.[20]
I.     Tingkatan Lafazh-lafazh al-jarh wa al-Ta’dil.
Para ulama hadits telah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk menyifati karakteristik para rawi, dari segi diterima atau tidaknya riwayat haditsnya. Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita adalah karya tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) dalam kitabnya yang besar al-jarh wa al-Ta’dil. Ia telah menyusun martabat al-jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.[21]
1.         Martabat-martabat Ta’dil menurut al-Razi.
Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya temukan istilah-istilah dalam al-jarh wa al-ta’dil terdiri atas beberapa tingkatan:
a.         Bila dikatakan bagi seseorang bahwa ia “Tsiqat, Mutqin, atau Tsabtun”, maka ia adalah orang yang haditsnya dapat dipakai hujjah.
b.        Bila dikatakan baginya “Shaduq, Mahalluhu ash-Shidqu, atau laa Ba’sa Bih”, maka ia adalah orang yang haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan. Ia menempati tingkatan kedua.
c.         Bila dikatakan baginya “Syaikh”, maka ia menempati tingkatan ketiga; haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan namun di bawah tingkatan kedua.
d.        Bila para ulama mengatakan “Shalih al-Hadits”, maka haditsnya dapat ditulis untuk i’tibar.[22]
2.         Martabat-martabat Jarh Menurut al-Razi.
a.         Bila para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia “Layyin al-Hadits”, maka ia adalah orang yang haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar.
b.        Bila mereka menyatakan “Laisa bi Qawiyyin”, maka yang bersangkutan sama dengan tingkatan pertama dalam hal dapat ditulis haditsnya, akan tetapi berada di bawahnya.
c.         Bila mereka menyatakan “Dha’if al-Hadits”, maka yang bersangkutan berada di bawah tingkatan kedua, namun haditsnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk i’tibar.
d.        Bila mereka menyatakan “Matruk al-Hadits”, atau “Dzahib al-Hadits” atau “Kadzdzaab”, maka yang bersangkutan haditsnya gugur dan tidak boleh ditulis. Ia menempati tingkatan keempat.
Banyak ulama hadits yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-jarh wa al-ta’dil ini. Di antaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikitpun. Kemudian datang ulama lain dan berpendapat sama dalam klasifikasi dan hukum-hukumnya secara global. Namun, mereka menambahkan beberapa perincian. Di antara ulama terakhir ini yang paling masyhur adalah al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al-Sakhawi.
Al-Dzahabi menjelaskan dalam pendahuluan kitab Mizan al-I’tidaal-nya:[23]
1.         Tingkatan rawi yang diterima haditsnya yang paling tinggi adalah mereka yang mendapat julukan Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Mutqinun, atau Tsiqatun Tsiqat.
2.         Kemudian yang diberi julukan Tsiqatun
3.         Kemudian yang diberi julukan Shaduq, La ba’sa bih, dan laisa bihi Ba’sun.
4.         Kemudian yang diberi julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al-Hadits, Shalih al-Hadits, Syaikh Wasath, Syaikh Hasan al-Hadits, Shaduq Insya Allah, Shuwailih, dan sebagainya.
Dengan demikian, al-Dzahabi menambahkan satu tingkat lagi yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut Ibnu Abi Hatim, dan ia menjadikan tingkatan ketiga dan tingkatan keempat menjadi satu tingkatan. Tentang jarh ia berkata:
1.         Julukan terendah bagi jarh adalah Dajjal, Kadzdzab, Wadhdha’, Yadha’ al-Hadits.
2.         Kemudian julukan Muttaham bi al-Kadzib, dan Muttafaq ‘ala Tarkih.
3.         Kemudian julukan Matruk, Laisa bi al-Tsiqat, dan Sakatu ‘anhu.
4.         Kemudian julukan Wahin bi Marrah, Laisa bi Syain, Dhaif Jiddan, dan Dha’ ‘Afuhu.
5.         Kemudian julukan Yadh’afu, Fihi Dhu’fun, Qad Dha’ufa, Laisa bi al Qawiyy, Sayyi al-Hifzhi, dan sebagainya.
Kemudian datanglah al-‘Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-jarh wa al-ta’dil. Beliau lebih merinci da menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai ganti kata kemudian (tsumma). Di samping itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafazh-lafazh julukan pada setiap martabat, serta menjelaskan hukum masing-masing martabat.
Martabat pertama dan kedua dari ta’dil, bila salah satu dari lafazh-lafazhnya disebutkan bagi seseorang, maka ia adalah orang yang haditsnya dapat dipakai hujjah. Martabat ketiga haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan. Martabat keempat haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan namun tingkatannya di bawah martabat ketiga.
Sehubungan dengan ketiga martabat pertama dalam jarh ia mengemukakan, “setiap rawi yang diberi julukan dengan salah satu lafazh dalam ketiga martabat pertama dari jarh  haditsnya tidak dapat dipakai hujjah, tidak dapat dijadikan syahid, dan tidak dapat digunakan dalam i’tibar. Sehubungan dengan martabat keempat dan kelima dalam jarh ia berkata, “Haditsnya dapat dikeluarkan (diriwayatkan setelah diteliti) untuk i’tibar semata-mata.”
Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitabnya al-Nukhbah ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi daripada martabat yang ditambahkan oleh al-Dzahabi dan al-‘Iraqi. Yaitu tingkatan yang dijuluki dengan bentuk kata af’al al-tafdhil, seperti autsaq an-nas. Dengan demikian, martabat ta’dil menjadi lima. Dan ia menambahinya lagi dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib al-Tahdzib satu martabat yang lebih tinggi lagi, yakni martabat shahabat, sehingga martabat ta’dil menjadi enam. Tindakan al-Hafizh menyebutkan martabat shahabat sebagai martabat tersendiri itu sangat rasional, karena kredibilitas mereka dijelaskan oleh nash Al-Qur’an maupun hadits, dan ta’dil keduanya itu lebih tinggi daripada ta’dil oleh manusia.
Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahi satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas. Penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabat jarh menjadi enam. Adapun pengklasifikasiannya sebagai berikut:[24]
1.         Martabat-martabat Ta’dil
a.         Martabat pertama, adalah martabat ta’dil tertinggi, yaitu martabat shahabat r.a.
b.        Martabat kedua, adalah martabat ta’dil tertinggi menurut penilaian ulama dalam taziyah atau seleksinya. Yaitu lafazh-lafazh ta’dil yang menunjukkan ketinggian mereka atau dengan menggunakan bentuk af’al al-tafdhil, seperti: Autsaq an­-Nas, Atsbat an-Nas, Adhbath an-Nas, Ilaihi al-Muntaha fi al-Tatsabbut. Demikian pula kata-kata: La A’rifu lahu Nazhiran fi ad-Dunya La Ahada Atsbatu Minhu, Man Mitslu Fulan, atau Fulanun La Yus’alu ‘Anhu.
c.         Martabat Ketiga, adalah lafazh-lafazh ta’dil yang diulang-ulang, baik pengulangan maknawi, seperti Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Tsabtun, dan Tsiqatun Mutqinun; maupun pengulangan lafzhi, seperti Tsiqatun Tsiqat. Seringkali para ulama menemukan ucapan Ibnu Uyainah: Haddatsana Amr bin Dinar wa Kana Tsiqatan tsiqatan Tsiqatan. . . . sampai sembilan kali. Lafazh ta’dil lain yang termasuk martabat ini di antaranya adalah pernyataan Ibnu Sa’d tentang syu’bah: Tsiqatun Ma’mun Tsabtun Hujjatun Shahibu hadits.
d.        Martabat keempat, adalah lafazh ta’dil tunggal, Tsiqatun Tsabtun, Mutqinun, Ka’annahu Mushhafun, Hujjatun. Imaamun, dan Adlun dhaabithun. Julukan Hujjatun lebih kuat daripada Tsiqatun.
e.         Martabat kelima, adalah Laisa bihi Ba’sun, La Ba’sa bih, Shaduq, Ma’munun, Khiyar al-Khalqi, Ma A’lamu bihi Ba’san, atau Mahalluhu ash-Shidqu.
f.          Martabat keenam, adalah lafazh-lafazh yang mengesankan dekat kepada jarh. Martabat ini adalah martabat ta’dil yang terendah. Seperti perkataan mereka: Laisa bi Ba’id min ash-Shawaab, Syaikhun, Yurwa Haditsuhu, Yu’tabaru bih, Syaikhun Wasath, Ruwiya ‘Anhu, Shalih al-Hadits, Yuktabu Haditsuhu, Muqarib al-Hadits, Ma Aqraba Haditsahu, Shuwailih, Shaduq Insya Allah, Arju an la Ba’sa bih, Jayyid al-Hadits, Hasan al-Hadits, Wasath, Maqbul, Shaduq Taghayyara bi Akharatin, Shaduq Sayyi’ al-Hifzhi, Shaduq Lahu Auham, Shaduq Mubtadi’, atau Shaduq Yahim.
Para rawi pada empat martabat pertama dapat dipakai hujjah, sedangkan para rawi pada martabat-martabat berikutnya tidak dapat dipakai hujjah, karena lafazh-lafazh julukan bagi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda ke-dhabith-an. Namun hadits mereka ditulis untuk i’tibar. Adapun rawi pada martabat keenam hukumnya lebih rendah dari rawi pada martabat sebelumnya. Sebagian dari mereka dapat ditulis haditsnya untuk i’tibar tanpa diteliti ke-dhabith-annya lantaran ihwal perkaranya yang telah jelas. Demikian dikatakan oleh al-Sakhawi.[25] Hukum ini relevan dengan klasifikasi kami ini, sebagaimana dapat anda jumpai dalam penjelasan kami yang sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Abi Hatim dan diakui oleh Ibnu al-Shalah dalam hal klasifikasi martabat-martabat ta’dil.
Mereka sepakat bahwa orang yang dijuluki dengan kata shaduq tidak dapat dipakai hujjah kecuali setelah diteliti dan dipelajari apakah kuat hapalannya terhadap hadits atau tidak.
Kesepakatan ini menolak anggapan sebagian ulama yang mengatakan bahwa periwayat yang dijuluki dengan shaduq itu haditsnya dapat dipakai hujjah dan termasuk hadits hasan lidzatihi, tanpa harus diteliti lebih dahulu.
2.         Martabat-martabat Jarh
a.         Martabat pertama, martabat jarh yang paling ringan, yaitu ucapan para ulama: fihi maqal, Adna Maqal, Dha’if, Yunkaru marratan wa yu’rafu Ukhra, Laisa bi Dzaka, Laisa bi al-Qawiyyi, Laisa bi al-Matin, Laisa bi Hujjatin, Laisa bi ‘Umdah, Laisa bi Ma’mun,[26] Laisa bi al-Mardhiyy, Laisa Yahmadunahu, Laisa bi al-Hafizh, Ghairuhu Autsaqu Minhu, Fihi Syai’un, Fihi Jahaalah, La Adri Ma Huwa, Fihi Dha’Fun, Layyin al-Hadits, Sayyi’ al-Hifzhi, Dhu’ifa, Li adh-Dha’fi Ma Huwa, atau Fihi Layyin menurut selain Ad-Daraquthni. Beliau berkata, “bila aku berkata “Layyin”, maka rawi tersebut tidak berarti gugur dan haditsnya jatuh dari i’tibar, ia hanya mengalami jarh karena suatu hal, tetapi tidak menggugurkan keadilannya.”
Demikian pula istilah-istilah berikut: Takallamu Fihi, Sakatu ‘Anhu, Math’un Fihi, atau Fihi Nazhar menurut selain al-Bukhari. Karena ia menggunakan istilah-istilah ini untuk rawi yang haditsnya ditinggalkan para ulama.
b.        Martabat kedua, martabat yang lebih rendah daripada martabat pertama, yaitu Fulanun la Yuhtajju Bih, Dha’ ‘afuhu, Mudhtharib al-Hadits, Lahu ma Yunkar, Haditsuhu Munkar, Lahu Manakir, Dhaif, atau Munkar menurut selain al-Bukhari. Sementara al-Bukhari sendiri berkata, “setiap rawi yang saya juluki dengan istilah Munkar al-Hadits, maka tidak boleh diriwayatkan haditsnya.”
Hadits para rawi yang termasuk dalam kedua martabat ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Sakhawi adalah dapat dipakai i’tibar, yaitu dengan meneliti sejumlah riwayat lain yang dapat memperkuatnya sehingga hadits tersebut dapat dipakai hujjah. Karena istilah-istilah jarh dalam kedua martabat ini mengesankan bahwa hadits para rawi yang bersangkutan dapat dipakai i’tibar dan tidak ditolak.
c.         Martabat ketiga, martabat yang lebih rendah daripada kedua martabat sebelumnya, yaitu Fulanun Rudda Haditsuhu, Mardud al-Hadits, Dha’if Jiddan , Laisa bi Tsiqah, Wahin bi Marrah, Tharahuhu, Mathtruh al-Hadits, Mathtruh, Irmi bih, La Yuktabu Haditsuhu, La Tahillu KitabatuHaditsihi, LaTahillual-Riwayatu ‘anhu, Laisa bi Syai’in, La Yusawi Syai’an, La Yustasyhadu bi Haditsihi, atau La Syai’a menurut pendapat selain Ibnu Ma’in.
d.        Martabat keempat, FulanunYasriq al-Hadits, Fulanun Muttahamun bi al-Kadzibi au bi al-Wadh’i, Saqith, Matruk, Dzahib al-Hadits, Tarakuhu, La Yu’tabaru Bih, La Yu’tabaru bi Haditsihi, Laisa bi ats-Tsiqah, Ghair Tsiqah. Demikia pula istilah-istilah berikut: Mujma’ ala Tarkihi, Mudin yakni Halik, dan Huwa ‘ala Yaday ‘Adlin.
e.         Martabat kelima, al-Dajjal, al-Kadzdzab, al-Wadhdha’, Yadha’u, Yakdzibu, dan Wadha’a Haditsan.
f.         Martabat keenam, adalah lafal-lafal yang menunjukkan berlebih-lebihan dalam jarh, seperti Akdzab an-Nas Ilaihi al-Muntaha, fi al-Kidzb, Huwa Ruknu al-Kidzb, Manba’ al-Kidzb, Ma’dan al-Kidzb, dan sebagainya.
Hukum hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang termasuk dalam keempat martabat terakhir ini dikatakan oleh al-Sakhawi bahwa tidak seorang pun dari mereka yang haditsnya dapat dipakai hujjah, dipakai dalil, dan dianggap valid.
J.    Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan[27]:
1.         Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dha’if saja dalam karyanya.
2.         Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
3.         Dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dha’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka [28]:
1.    Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].
3.    Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4.    Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5.    Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6.    Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Ahmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7.    Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8.    Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9.    Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10.  Kitab Al-jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.[29]
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16.  Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31.  Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.
K.   Penutup
Makalah ini membahas tentang beberapa pembahasan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, ilmu yang meneliti para perawi hadits untuk mengetahui diterima atau tidak diterimanya suatu riwayat hadits.
Adapun pembahasannya meliputi: Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil, Sejarah Perkembangan Ilmu al Jarh wa at-Ta’dil,  Syarat Ulama al-jarh wa al-Ta’dil, Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan bagi Ulama al-jarh wa al-Ta’dil,       Tata Tertib Ulama al-jarh wa al-Ta’dil, Syarat Diterimanya al-jarh wa al-ta’dil, Beberapa Hal yang Tidak Dapat Diterima pada al-jarh wa al-Ta’dil,            Tingkatan Lafazh-lafazh al-jarh wa al-Ta’di, Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-jarh wat-Ta’dil.
Demikianlah beberapa pembahasan tentang ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.





DAFTAR PUSTAKA
M.Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2011
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963
Nuruddin ‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits, Bandung: PT Rosdakarya, 1995


[1] M.Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2011, hal. 159
[2] Ibid.,
[3] Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003, hal. 27
[4] Ibid.,hal. 28
[5] Ibid., hal 29
[6] Ibid.,
[7] Suryadi mengutip dari Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963), hlm. 235
[8] Suryadi, Metodologi Ilmu..., hal. 31
[9] Ibid., hal. 35
[10] Nuruddin ‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits, Bandung: PT Rosdakarya, 1995, hal. 79
[11] Ibid., hal. 80
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hal. 81
[14] Diriwayatkan oleh At-Turmudzi dalam kitab Al-Birr wa ash-Shilah, 4:350, dan ia berkata bahwa hadits ini hasan gharib. Hadits yang semakna sangat banyak.
[15] Bab al-Iqazh, 19:115-125, dengan sedikit ringkas.
[16] Nuruddin’ITR, ‘Ulumu Al-Hadits, hal. 83
[17] Ibid., hal. 86
[18] Ibid., hal. 90
[19] Ibid., hal. 91
[20] Ibid.,
[21] Ibid., hal. 92
[22]  I’tibar dalam pengertian sederhana adalah serangkaian kegiatan meneliti personalia sanad-sanad suatu hadits tertentu yang salah satu sanadnya telah ditemukan, untuk mengetahui jumlah sanad yang sebenarnya, yaitu untuk mengetahui apakah ada syaahid dan taabi’ (mutaaba’ah) bagi sanad yang pertama ditemukan.
[23] Nuruddin ITR, ‘Ulum Al-Hadits, hal. 93
[24] Ibid., hal. 95


[27] http://alatsari.wordpress.com/2007/10/31/jarh-wa-tadil/  di akses tanggal 21 Oktober 2011, pukul 16.13.
[28] Ibid.,
[29] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar