A. Pendahuluan
Sebagai umat
Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah
Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat
Al-Qur’an yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi
mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.
Proses
penulisan hadits berlangsung setelah Nabi wafat dan peresmiannya 200 tahun
setelah Nabi wafat. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan
terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan
berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang
sebenarnya barasal dari Nabi. Maka dari itu perlu adanya ilmu al-Jarh-wa
al-Ta’dil.
Kalaulah ilmu
al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan
muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama.
Padahal, perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW. sampai dibukukan mengalami
perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang
tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kemurnian sebuah hadits perlu
mendapat penelitian secara saksama karena terjadinya pertikaian bidang politik,
masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan
hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada
Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat
untuk kepentingan golongannya.[1]
Jika kita tidak
mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu (maudhu’)
Dengan
mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana
hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi,
bukan dari matannya.[2]
B. Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara
etimologis, al-jarh merupakan isim mashdar dari kata jaraha-yajrahu
yang berarti melukai. Baik luka yang berkenaan dengan fisik maupun non
fisik. Kata Jaraaha bila dipergunakan hakim di pengadilan yang ditujukan
pada masalah kesaksian memiliki makna tertentu, yakni menggugurkan keabsahan
saksi.[3]
Secara
terminologis al-jarh didefenisikan oleh Muhammad ‘Ajjal al-Khathib
sebagai:
ظهور
وصف فى الراوى يفسد عدالته أو يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوط روايته أو
ضعفها وردها
“munculnya
suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan
hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah
atau bahkan tertolak riwayatnya.”
Sedang kata at-tajrih
berarti:
وصف
الراوى بصفات تقتضى تضعيف روايته أو عدم قبولها
“mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan
lemahnya periwayatan atau tidak diterimanya riwayat yang disampaikannya.”
Sebagian ulama
menyamakan penggunaan kata al-jarh dan at-tajrih dan sebagian
lagi membedakan penggunaan kedua kata tersebut. Para ulama yang membedakan
penggunaan dua kata tersebut beralasan kata al-jarh berkonotasi tidak
mencari-cari ketercelaan seseorang, karena memang telah tampak dengan
sendirinya pada orang tersebut. Sedang at-tajrih berkonotasi pada upaya
aktif untuk mencari-cari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.[4]
Adapun al-‘adl
secara etimologi berarti:
ماقام
فى نفوس أنه مستقيم
“Sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bahwa sesuatu itu lurus.”
Sedangkan secara
terminologi adalah:
من
لم يظهرفى امر اللدين ومروئته مايخل بهما فيقبل لذالك خبره وشهادته إذا توفرت فيه
بقية الشرط
“orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan
muru’ah (keperwiraannya), sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima,
apabila ditemui syarat-syarat yang lain”
Sedangkan kata at-ta’dil
secara etimologis adalah isim mashdar dari kata ‘addala-yu’addilu yang
berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Dengan
demikian secara terminologis at-ta’dil bermakna:[5]
وصف
الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خيره
“mensifati perawi dengan sifat-sifat yang baik, sehingga tampak
jelas keadilannya dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.”
Berlandaskan
definisi kata per-kata dari al-jarh wa at-Ta’dil di atas, Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib
mendefinisikan Ilmu al-jarh wa at-Ta’dil sebagai berikut:[6]
العلم
الذى يبحث فى أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم
أوردها
“Ilmu yang membahas keadaan para rawi hadis dari segi diterima atau
ditolaknya periwayatan mereka.”
C. Sejarah Perkembangan Ilmu al Jarh wa at-Ta’dil
Sejarah
pertumbuhan Ilmu al-jarh wa at-Ta’dil seiring dan sejalan dengan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis, karena bagaimanapun juga untuk
memilah dan memilih hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi
dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadis
yang maqbul dan yang mardud.
Embrio praktek
men-Jarh dan men-Ta’dil sudah tampak pada masa Rasulullah yang
beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh
al-‘asyirah dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin al-Walid
dengan sebutan:[7]
نعم عبد الله خالد بن
الوليد سيف من سيوف الله
“sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang
dari sekian banyak pedang Allah.”
Selain dari
riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah tentang al-jarh dan at-ta’dil
ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para sahabat. Kita dapat
menemukan banyak kasus dimana sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap
sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadis. Keadaan demikian
berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para
pakar Ilmu Hadis berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para rawi
semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap keridhaan Allah. Maka,
apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang rawi akan
mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai
negatif adalah keluarganya.[8]
Begitu besar
rasa tanggung jawab para ulama hadis dalam menilai kualitas rawi, mereka
mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding amanah menyimpan emas, perak
dan barang-barang berharga. Kiprah menilai keadaan para rawi ditegaskan
berulangkali oleh para ulama hadis dalam rangka menjaga sunnah dari
tangan-tangan perusak dan pemalsu hadis, yang pada gilirannya menjadi wasilah
mengetahui kualitas dan nilai hadis.[9]
Dengan demikian
pada dasarnya Ilmu al-jarh wa at Ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan periwayatan hadis, yakni semenjak masa Rasulullah dan para sahabatnya.
Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan Uswah dan tradisi
semacam itu, untuk memenuhi titah Allah yang tertuang dalam (Q.S. (33)
al-Ahzab: 70-71):
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #YÏy ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁã öNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr& öÏÿøótur öNä3s9 öNä3t/qçRè 3 `tBur ÆìÏÜã ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù y$sù #·öqsù $¸JÏàtã ÇÐÊÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka
Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.”
D. Syarat Ulama al-jarh wa al-Ta’dil
Seorang ulama al-jarh
wa al-ta’dil harus memenuhi
kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam upaya menguak karakteristik
para periwayat. Syarat-syaratnya adalah:[10]
1.
Berilmu,
bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat-sifat
ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa
al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafizh berkata, “ Seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak
diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang
mampu mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya
berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.”
2.
Ia
mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar
menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “ Tazkiyah (pembersihan terhadap
diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui
sebab-sebabnya, bukan orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan
tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami
dan memeriksanya.”
3.
Ia
mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang
digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya , atau men-jarh dengan
lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.[11]
E. Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan bagi Ulama
al-jarh wa al-Ta’dil.
Tidak
disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka.
Yang penting dalam melakukan tazkiyah dan jarh, orang tersebut
hendaklah orang yang adil, laki-laki maupun perempuan, orang merdeka atau
hamba.
Suatu pendapat
menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali
dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya. Namun,
kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa
al-ta’dil apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil,
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya.
Ibnu ash-Shalah berkata, “ itu adalah pendapat yang benar yang dipilih oleh
al-Khatib dan lainnya, karena dalam hal diterimanya hadits tidak disyaratkan
berbilangnya periwayat. Oleh karena itu, dalam penilaian jarh atau adilnya rawi
tidak disyaratkan harus oleh sejumlah orang . lain halnya dengan hukum syahadah
atau kesaksian.”
F. Tata Tertib Ulama al-jarh wa al-Ta’dil
Ada beberapa
point tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Di antaranya yang terpenting adalah[12]:
1.
Bersikap
obyektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari
martabat yang sebenarnya atau merendahkannya;sebagaimana yang terjadi bagi
kebanyakan manusia dewasa ini.
2.
Tidak
boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran darurat;
sementara darurat itu ada batasnya.
3.
Tidak
boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh
oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Karena sikap
yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para
muhadditsin mencela sikap yang demikian.
4.
Tidak
boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya
disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya jarh
tidak dapat dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan
melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan.
Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak memberi faedah pada sebagian orang yang
merasa berlebihan dalam berilmu dewasa ini. Mereka beranggapan bahwa
menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tanda kesempurnaan pengetahuan
dan pemahaman mereka, sehingga terciptalah tradisi yang jelek, ketika mereka
berdiskusi dengan salah seorang yang alim dalam suatu disiplin ilmu tertentu
maka mereka akan berusaha mencela perbuatan-perbuatan pribadinya, mencari-cari
kesalahannya, menyertakan ribuan kedustaan kepada satu kejujuran, mengemukakan
kata-kata celaan kepadanya dengan cara membuat para pengikutnya tercengang.
Tujuannya semata-mata ingin membungkam lawannya dengan cara seperti itu
sehingga menjadikan forum diskusi sebagai forum caci-maki, mencari-cari
kesalahan orang, dan permusuhan.[13]
Sabda
Rasulullah saw:
كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى
المُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap Muslim bagi Muslim yang lain adalah haram darahnya,
hartanya, dan harga dirinya."
Bahkan dinyatakan
bahwa beliau bersabda:
لَيْسَ المُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ
وَلَااللَّعَّانِ وَلَاالفَاحِشِ وَلَاالبَذِيْءِ
“ Orang mukmin itu bukanlah tukang mencela, pengutuk, pelaku yang
keji, dan yang kotor ucapannya.[14]
G. Syarat Diterimanya
al-jarh wa al-ta’dil.
1. Syarat Pertama, al-jarh wa
al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai
ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Nuruddin ‘ITR
mengutip dari Al-Laknawi yang menjelaskan dalam kitab al-Raf’u wa al-Takmiil,[15]
“wajib bagimu untuk tidak tergesa-gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi
semata-mata karena ada penilaian sebagian ahli al-jarh wa al-ta’dil,
melainkan engkau harus meneliti kebenarannya. Karena masalah ini amat penting
dan banyak kendalanya. Anda tidak berhak menerima penilaian seluruh orang yang
men-jarh terhadap rawi yang mana pun. Karena seringkali didapati suatu
hal yang menyebabkan invaliditas suatu jarh.hal seperti ini banyak sekali
bentuknya dan diketahui oleh mereka yang banyak menelaah kitab-kitab syari’ah.
Antara lain adalah:
a.
Orang
yang menilai jarh itu sendiri kadangkala orang yang di-jarh.
Dengan demikian, penilaian al-jarh wa al-ta’dil-nya idak boleh diterima
begitu saja selama tidak didapati penilaian yang sama dari orang lain.
b.
Orang
yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulit dan
memperberat. Mengingat ada sejumlah ulama al-jarh wa al-ta’dil yang
sangat memperberat perkataan ini. Mereka menjarh para periwayat hanya karena
kecacatan yang sangat sedikit. Orang seperti ini penilaian tsiqat-nya
dapat diterima, sementara penilaian jarh-nya tidak dapat diterima begitu
saja, melainkan bila ada penilaian serupa dari orang lain yang obyektif dan
diperhitungkan. Di antara mereka ada Abu Hatim, al-Nasa’i, Ibnu Ma’in, Ibnu al-Qaththan,
Yahya al-Qaththan, dan Ibnu Hibban. Mereka dikenal sebagai orang yang
berlebihan dan terlalu keras dalam men-jarh. Maka hendaklah setiap
peneliti bersikap hati-hati dan berpikir kritis terhadap rawi yang hanya
dinilai jarh oleh mereka. Demikian penjelasan al-Laknawi.
2. Syarat Kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan
sebab-sebabnya. Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus disertai penjelasan
sebab-sebabnya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu al-Shalah hanya
membahas pendapat ini dan tidak membahas pendapat-pendapat lain.
Ibnu al-Shalah
berkata, “menurut pendapat yang benar dan masyur, ta’dil dapat diterima
tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Ini karena sebab-sebabnya sangat banyak, dan
untuk menyebutkannya seorang pen-ta’dil harus berkata seperti rawi Fulan
itu tidak melakukan hal lain, tidak melanggar peraturan ini, bahkan melakukan
itu dan itu; sehingga ia terpaksa membilang semua hal yang menyebabkan
kefasikan bila dikerjakan atau ditinggalkan. Hal ini adalah suatu hal yang amat
berat. Adapun jarh tidak bisa diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Ini
karena dalam menentukan sebab-sebab jarh setiap orang berbeda dengan yang
lainnya. Sehingga seseorang bisa dinilai jarh menurut persepsinya,
sementara pada hakikatnya tidak demikian. Oleh karena itu, jarh harus
dijelaskan sebabnya, agar dapat dilihat apakah benar jarh-nya atau
tidak. Hal ini telah jelas ditetapkan dalam fiqh dan ushulnya.” Demikian
keterangan Ibnu al-Shalah.[16]
3. Syarat Ketiga, dapat diterima jarh
yang sederhana tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali
tidak ada yang men-ta’dil-nya. Demikianlah pendapat yang dipilih oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh al- Nukhbah.[17]
Ia berkata, “apabila periwayat yang di-jarh itu sama sekali tidak ada
yang men-ta’dil-nya, maka baginya berlaku jarh yang sederhana
tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bila hal itu diucapkan oleh seorang yang bijak.
Demikian menurut pendapat yang terpilih. Pendapat ini beralasan bahwa periwayat
yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya seakan-akan adalah
periwayat yang majhul. Mengamalkan pernyataan penjarh itu lebih aik
daripada menyia-nyiakannya.”
4. Syarat keempat, jarh harus terlepas
dari berbagai hal yang menghalangi kediterimaannya. Maka bila ada hal-hal yang
menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.
H. Beberapa Hal yang Tidak Dapat Diterima pada al-jarh
wa al-Ta’dil
1. Ta’dil secara samar. Seperti seorang
rawi berkata, “menceritakan kepadaku seorang yang tsiqat atau orang yang
tidak aku curigai.” Tanpa disebut namanya. Hal ini bila terjadi maka menurut
pendapat yang shahih riwayatnya tidak dapat diterima hingga ia menyebut nama
rawi yang bersangkutan. Sebab meskipun rawi itu tsiqat menurutnya namun bila
disebutkan namanya barangkali ia dijarh oleh orang lain dengan jarh yang
mencacatkan. Bahkan dengan tidak menyebutkan nama akan menimbulkan semacam
keraguan dalam hati.
Demikian pula
bila seorang rawi berkata, “semua guruku adalah orang-orang yang tsiqat.”
Pernyataan ini tidak dapat diterima sebagai tazkiyah (upaya membersihkan
namanya), sehingga ia menyebutkan nama-nama gurunya itu. Akan tetapi, para
ulama mengecualikan imam mujtahid, seperti imam malik, Abu Hanifah, Syafi’i,
dan Ahmad. Bila mereka mengatakan hal seperti itu, maka cukup bagi pengikut
madzhabnya untuk menerimanya.[18]
2. Ibnu Hibban berpendapat bahwa bila seorang
rawi tidak jarh, atau orang yang di atasnya dan dibawahnya dalam sanad
tidak jarh, sementara ia tidak pernah meriwayatkan hadits munkar, maka
haditsnya dapat diterima. Oleh karena itu, seorang rawi yang majhul akan
dinilai tsiqat bila ia meriwayatkan hadits dari rawi yang tsiqat dan
orang yang meriwayatkan darinya adalah orang tsiqat, sementara ia tidak
pernah meriwayatkan hadits munkar.
Jelas bahwa
pernyataan Ibnu Hibban itu tidak dengan pasti menunjukkan bahwa rawi yang
dimaksud itu adalah yang tsiqat. Sebab, banyak sekali rawi yang dha’if
meriwayatkan hadits dari rawi yang tsiqat, begitu pula sebaliknya. Oleh karena
itulah maka Ibnu Hibban disifati sebagai ulama yang terlalu mudah menshahihkan
hadits dan men-ta’dil-kan para rawi, dalam konteks ini yakni men-ta’dil
periwayat yang majhul. Meskipun dari segi lain ia sangat keras dalam men-jarh
karena suatu sebab yang sangat ringan yang ia ketahui.[19]
3. Bila seorang rawi yang adil meriwayatkan
hadits dari seorang rawi lain yang disebut namanya, maka hal itu bukanlah suatu
ta’dil menurut kebanyakan ahli hadits. Pendapat ini benar karena para
rawi yang adil itu meriwayatkan hadits dari rawi yang tsiqat dan dari
rawi yang tidak tsiqat.
4. pengamalan dan fatwa seorang alim yang sesuai
dengan hadits yang diriwayatkan tidaklah berarti bahwa hadits itu pasti shahih.
Demikian pula jika ia menyalahi suatu hadits, tidak berarti akan mencacatkan
keshahihannya, atau para periwayatnya. Karena pengamalan seorang alim yang sesuai
dengan hadits itu kadang-kadang disebabkan kehati-hatiannya atau karena ada
dalil lain yang sesuai dengan hadits yang bersangkutan. Demikian pula
pengamalannya yang menyalahinya, kadang-kadang karena ada salah satu kendala
yang berat atau karena ta’wil. Imam Malik meriwayatkan hadits dari
Nafi’dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
البَيْعَانِ بِا لخِيَارِمَالَمْ
يَتَفَرَّقَا
“Penjual
dan pembeli itu berada dalam khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan jual
belinya sebelum mereka berpisah.”
Namun, ia
sendiri tidak mengamalkan maknanya; dan hal itu tidak berarti mencacatkan
Nafi’, rawi hadits tersebut. Dalam al-Muwaththa’ terdapat tujuh puluh buah
hadits yang tidak diamalkan oleh Malik. Di antaranya terdapat hadits-hadits
yang termaktub dalam shahihain.[20]
I. Tingkatan Lafazh-lafazh al-jarh wa
al-Ta’dil.
Para ulama
hadits telah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk menyifati
karakteristik para rawi, dari segi diterima atau tidaknya riwayat haditsnya.
Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi ini. Mereka
berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang
pertama kali sampai kepada kita adalah karya tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam
Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) dalam kitabnya yang besar al-jarh
wa al-Ta’dil. Ia telah menyusun martabat al-jarh wa al-ta’dil
masing-masing terdiri atas empat martabat.[21]
1.
Martabat-martabat
Ta’dil menurut al-Razi.
Ibnu
Abi Hatim berkata, “Saya temukan istilah-istilah dalam al-jarh wa al-ta’dil
terdiri atas beberapa tingkatan:
a.
Bila
dikatakan bagi seseorang bahwa ia “Tsiqat, Mutqin, atau Tsabtun”, maka
ia adalah orang yang haditsnya dapat dipakai hujjah.
b.
Bila
dikatakan baginya “Shaduq, Mahalluhu ash-Shidqu, atau laa Ba’sa Bih”,
maka ia adalah orang yang haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan. Ia
menempati tingkatan kedua.
c.
Bila
dikatakan baginya “Syaikh”, maka ia menempati tingkatan ketiga;
haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan namun di bawah tingkatan kedua.
d.
Bila
para ulama mengatakan “Shalih al-Hadits”, maka haditsnya dapat ditulis
untuk i’tibar.[22]
2.
Martabat-martabat
Jarh Menurut al-Razi.
a.
Bila
para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia “Layyin al-Hadits”,
maka ia adalah orang yang haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar.
b.
Bila
mereka menyatakan “Laisa bi Qawiyyin”, maka yang bersangkutan sama dengan
tingkatan pertama dalam hal dapat ditulis haditsnya, akan tetapi berada di
bawahnya.
c.
Bila
mereka menyatakan “Dha’if al-Hadits”, maka yang bersangkutan berada di
bawah tingkatan kedua, namun haditsnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk i’tibar.
d.
Bila
mereka menyatakan “Matruk al-Hadits”, atau “Dzahib al-Hadits”
atau “Kadzdzaab”, maka yang bersangkutan haditsnya gugur dan tidak boleh
ditulis. Ia menempati tingkatan keempat.
Banyak ulama
hadits yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-jarh wa
al-ta’dil ini. Di antaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka
mengikutinya tanpa menyalahinya sedikitpun. Kemudian datang ulama lain dan
berpendapat sama dalam klasifikasi dan hukum-hukumnya secara global. Namun,
mereka menambahkan beberapa perincian. Di antara ulama terakhir ini yang paling
masyhur adalah al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al-Sakhawi.
Al-Dzahabi
menjelaskan dalam pendahuluan kitab Mizan al-I’tidaal-nya:[23]
1.
Tingkatan
rawi yang diterima haditsnya yang paling tinggi adalah mereka yang mendapat
julukan Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Mutqinun, atau Tsiqatun
Tsiqat.
2.
Kemudian
yang diberi julukan Tsiqatun
3.
Kemudian
yang diberi julukan Shaduq, La ba’sa bih, dan laisa bihi Ba’sun.
4.
Kemudian
yang diberi julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al-Hadits, Shalih al-Hadits,
Syaikh Wasath, Syaikh Hasan al-Hadits, Shaduq Insya Allah, Shuwailih, dan
sebagainya.
Dengan
demikian, al-Dzahabi menambahkan satu tingkat lagi yang lebih tinggi daripada
tingkatan pertama menurut Ibnu Abi Hatim, dan ia menjadikan tingkatan ketiga
dan tingkatan keempat menjadi satu tingkatan. Tentang jarh ia berkata:
1.
Julukan
terendah bagi jarh adalah Dajjal, Kadzdzab, Wadhdha’, Yadha’
al-Hadits.
2.
Kemudian
julukan Muttaham bi al-Kadzib, dan Muttafaq ‘ala Tarkih.
3.
Kemudian
julukan Matruk, Laisa bi al-Tsiqat, dan Sakatu ‘anhu.
4.
Kemudian
julukan Wahin bi Marrah, Laisa bi Syain, Dhaif Jiddan, dan Dha’
‘Afuhu.
5.
Kemudian
julukan Yadh’afu, Fihi Dhu’fun, Qad Dha’ufa, Laisa bi al Qawiyy, Sayyi
al-Hifzhi, dan sebagainya.
Kemudian
datanglah al-‘Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-jarh wa
al-ta’dil. Beliau lebih merinci da menjelaskan, dengan mencantumkan
kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai ganti
kata kemudian (tsumma). Di samping itu beliau juga menyebutkan
lebih banyak lafazh-lafazh julukan pada setiap martabat, serta menjelaskan
hukum masing-masing martabat.
Martabat
pertama dan kedua dari ta’dil, bila salah satu dari lafazh-lafazhnya disebutkan
bagi seseorang, maka ia adalah orang yang haditsnya dapat dipakai hujjah.
Martabat ketiga haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan. Martabat keempat
haditsnya dapat ditulis dan diperhatikan namun tingkatannya di bawah martabat
ketiga.
Sehubungan
dengan ketiga martabat pertama dalam jarh ia mengemukakan, “setiap rawi
yang diberi julukan dengan salah satu lafazh dalam ketiga martabat pertama dari
jarh haditsnya tidak dapat
dipakai hujjah, tidak dapat dijadikan syahid, dan tidak dapat
digunakan dalam i’tibar. Sehubungan dengan martabat keempat dan kelima
dalam jarh ia berkata, “Haditsnya dapat dikeluarkan (diriwayatkan
setelah diteliti) untuk i’tibar semata-mata.”
Kemudian
datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitabnya al-Nukhbah
ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi
daripada martabat yang ditambahkan oleh al-Dzahabi dan al-‘Iraqi. Yaitu
tingkatan yang dijuluki dengan bentuk kata af’al al-tafdhil, seperti autsaq
an-nas. Dengan demikian, martabat ta’dil menjadi lima. Dan ia
menambahinya lagi dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib
al-Tahdzib satu martabat yang lebih tinggi lagi, yakni martabat shahabat,
sehingga martabat ta’dil menjadi enam. Tindakan al-Hafizh menyebutkan
martabat shahabat sebagai martabat tersendiri itu sangat rasional, karena
kredibilitas mereka dijelaskan oleh nash Al-Qur’an maupun hadits, dan ta’dil
keduanya itu lebih tinggi daripada ta’dil oleh manusia.
Adapun martabat
jarh, al-Hafizh menambahi satu martabat yang melebih-lebihkan jarh,
seperti julukan Akdzab an-Nas. Penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi.
Dengan demikian martabat jarh menjadi enam. Adapun pengklasifikasiannya sebagai
berikut:[24]
1.
Martabat-martabat
Ta’dil
a.
Martabat
pertama, adalah martabat ta’dil tertinggi, yaitu martabat shahabat
r.a.
b.
Martabat
kedua, adalah martabat ta’dil tertinggi menurut penilaian ulama dalam taziyah
atau seleksinya. Yaitu lafazh-lafazh ta’dil yang menunjukkan ketinggian
mereka atau dengan menggunakan bentuk af’al al-tafdhil, seperti: Autsaq
an-Nas, Atsbat an-Nas, Adhbath an-Nas, Ilaihi al-Muntaha fi al-Tatsabbut. Demikian
pula kata-kata: La A’rifu lahu Nazhiran fi ad-Dunya La Ahada Atsbatu Minhu,
Man Mitslu Fulan, atau Fulanun La Yus’alu ‘Anhu.
c.
Martabat
Ketiga, adalah lafazh-lafazh ta’dil yang diulang-ulang, baik pengulangan
maknawi, seperti Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun
Tsabtun, dan Tsiqatun Mutqinun; maupun pengulangan lafzhi, seperti
Tsiqatun Tsiqat. Seringkali para ulama menemukan ucapan Ibnu Uyainah: Haddatsana
Amr bin Dinar wa Kana Tsiqatan tsiqatan Tsiqatan. . . . sampai sembilan
kali. Lafazh ta’dil lain yang termasuk martabat ini di antaranya adalah
pernyataan Ibnu Sa’d tentang syu’bah: Tsiqatun Ma’mun Tsabtun Hujjatun
Shahibu hadits.
d.
Martabat
keempat, adalah lafazh ta’dil tunggal, Tsiqatun Tsabtun, Mutqinun,
Ka’annahu Mushhafun, Hujjatun. Imaamun, dan Adlun dhaabithun.
Julukan Hujjatun lebih kuat daripada Tsiqatun.
e.
Martabat
kelima, adalah Laisa bihi Ba’sun, La Ba’sa bih, Shaduq, Ma’munun, Khiyar
al-Khalqi, Ma A’lamu bihi Ba’san, atau Mahalluhu ash-Shidqu.
f.
Martabat
keenam, adalah lafazh-lafazh yang mengesankan dekat kepada jarh.
Martabat ini adalah martabat ta’dil yang terendah. Seperti perkataan
mereka: Laisa bi Ba’id min ash-Shawaab, Syaikhun, Yurwa Haditsuhu, Yu’tabaru
bih, Syaikhun Wasath, Ruwiya ‘Anhu, Shalih al-Hadits, Yuktabu Haditsuhu,
Muqarib al-Hadits, Ma Aqraba Haditsahu, Shuwailih, Shaduq Insya Allah, Arju an
la Ba’sa bih, Jayyid al-Hadits, Hasan al-Hadits, Wasath, Maqbul, Shaduq
Taghayyara bi Akharatin, Shaduq Sayyi’ al-Hifzhi, Shaduq Lahu Auham, Shaduq
Mubtadi’, atau Shaduq Yahim.
Para rawi pada empat martabat pertama dapat dipakai hujjah,
sedangkan para rawi pada martabat-martabat berikutnya tidak dapat dipakai hujjah,
karena lafazh-lafazh julukan bagi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda ke-dhabith-an.
Namun hadits mereka ditulis untuk i’tibar. Adapun rawi pada martabat
keenam hukumnya lebih rendah dari rawi pada martabat sebelumnya. Sebagian dari
mereka dapat ditulis haditsnya untuk i’tibar tanpa diteliti ke-dhabith-annya
lantaran ihwal perkaranya yang telah jelas. Demikian dikatakan oleh al-Sakhawi.[25]
Hukum ini relevan dengan klasifikasi kami ini, sebagaimana dapat anda jumpai
dalam penjelasan kami yang sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Abi
Hatim dan diakui oleh Ibnu al-Shalah dalam hal klasifikasi martabat-martabat ta’dil.
Mereka sepakat
bahwa orang yang dijuluki dengan kata shaduq tidak dapat dipakai hujjah
kecuali setelah diteliti dan dipelajari apakah kuat hapalannya terhadap hadits
atau tidak.
Kesepakatan ini
menolak anggapan sebagian ulama yang mengatakan bahwa periwayat yang dijuluki
dengan shaduq itu haditsnya dapat dipakai hujjah dan termasuk
hadits hasan lidzatihi, tanpa harus diteliti lebih dahulu.
2.
Martabat-martabat
Jarh
a.
Martabat
pertama, martabat jarh yang paling ringan, yaitu ucapan para ulama: fihi
maqal, Adna Maqal, Dha’if, Yunkaru marratan wa yu’rafu Ukhra, Laisa bi Dzaka,
Laisa bi al-Qawiyyi, Laisa bi al-Matin, Laisa bi Hujjatin, Laisa bi ‘Umdah,
Laisa bi Ma’mun,[26]
Laisa bi al-Mardhiyy, Laisa Yahmadunahu, Laisa bi al-Hafizh, Ghairuhu Autsaqu
Minhu, Fihi Syai’un, Fihi Jahaalah, La Adri Ma Huwa, Fihi Dha’Fun, Layyin
al-Hadits, Sayyi’ al-Hifzhi, Dhu’ifa, Li adh-Dha’fi Ma Huwa, atau Fihi
Layyin menurut selain Ad-Daraquthni. Beliau berkata, “bila aku berkata “Layyin”,
maka rawi tersebut tidak berarti gugur dan haditsnya jatuh dari i’tibar,
ia hanya mengalami jarh karena suatu hal, tetapi tidak menggugurkan
keadilannya.”
Demikian pula istilah-istilah berikut: Takallamu Fihi, Sakatu
‘Anhu, Math’un Fihi, atau Fihi Nazhar menurut selain al-Bukhari. Karena ia
menggunakan istilah-istilah ini untuk rawi yang haditsnya ditinggalkan para
ulama.
b.
Martabat
kedua, martabat yang lebih rendah daripada martabat pertama, yaitu Fulanun la
Yuhtajju Bih, Dha’ ‘afuhu, Mudhtharib al-Hadits, Lahu ma Yunkar, Haditsuhu
Munkar, Lahu Manakir, Dhaif, atau Munkar menurut selain al-Bukhari.
Sementara al-Bukhari sendiri berkata, “setiap rawi yang saya juluki dengan
istilah Munkar al-Hadits, maka tidak boleh diriwayatkan haditsnya.”
Hadits para rawi yang termasuk dalam kedua martabat ini sebagaimana
dijelaskan oleh al-Sakhawi adalah dapat dipakai i’tibar, yaitu dengan
meneliti sejumlah riwayat lain yang dapat memperkuatnya sehingga hadits
tersebut dapat dipakai hujjah. Karena istilah-istilah jarh dalam
kedua martabat ini mengesankan bahwa hadits para rawi yang bersangkutan dapat
dipakai i’tibar dan tidak ditolak.
c.
Martabat
ketiga, martabat yang lebih rendah daripada kedua martabat sebelumnya, yaitu Fulanun
Rudda Haditsuhu, Mardud al-Hadits, Dha’if Jiddan , Laisa bi Tsiqah, Wahin bi
Marrah, Tharahuhu, Mathtruh al-Hadits, Mathtruh, Irmi bih, La Yuktabu
Haditsuhu, La Tahillu KitabatuHaditsihi, LaTahillual-Riwayatu ‘anhu, Laisa bi
Syai’in, La Yusawi Syai’an, La Yustasyhadu bi Haditsihi, atau La Syai’a
menurut pendapat selain Ibnu Ma’in.
d.
Martabat
keempat, FulanunYasriq al-Hadits, Fulanun Muttahamun bi al-Kadzibi au bi
al-Wadh’i, Saqith, Matruk, Dzahib al-Hadits, Tarakuhu, La Yu’tabaru Bih, La
Yu’tabaru bi Haditsihi, Laisa bi ats-Tsiqah, Ghair Tsiqah. Demikia pula
istilah-istilah berikut: Mujma’ ala Tarkihi, Mudin yakni Halik, dan
Huwa ‘ala Yaday ‘Adlin.
e.
Martabat
kelima, al-Dajjal, al-Kadzdzab, al-Wadhdha’, Yadha’u, Yakdzibu, dan Wadha’a
Haditsan.
f.
Martabat
keenam, adalah lafal-lafal yang menunjukkan berlebih-lebihan dalam jarh,
seperti Akdzab an-Nas Ilaihi al-Muntaha, fi al-Kidzb, Huwa Ruknu al-Kidzb,
Manba’ al-Kidzb, Ma’dan al-Kidzb, dan sebagainya.
Hukum hadits
yang diriwayatkan oleh para rawi yang termasuk dalam keempat martabat terakhir
ini dikatakan oleh al-Sakhawi bahwa tidak seorang pun dari mereka yang
haditsnya dapat dipakai hujjah, dipakai dalil, dan dianggap valid.
J. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-jarh wat-Ta’dil
Penyusunan
karya dalam ilmu Al-jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga
dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara
jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan
dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad
bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam
karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para
penyusun mempunyai metode yang berlainan[27]:
1.
Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan
orang-orang yang dha’if saja dalam karyanya.
2.
Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat
saja.
3.
Dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dha’if
dan yang tsiqaat.
Sebagian
besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para
perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya
mereka yang sampai kepada mereka [28]:
1. Kitab
Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat
sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir,
karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di
India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath,
dan Ash-Shaghiir[/I].
3. Kitab
Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat
tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim
Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya
Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Ahmad bin Ali An-Nasa’I (wafat
tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya
Imam Bukhari.
7. Kitab
Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad
Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab
Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin
Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab
Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di
antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum,
tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat
saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab
At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas
12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab
Al-jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun
327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-jarh
wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia
mencakup banyak perkataan para imam Al-jarh wat-Ta’dil terkait dengan
para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu
yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian
karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan
lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang
lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.[29]
11. Kitab
Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady
Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man
ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya
Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii
Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad
Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari;
manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa
‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji
Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab
At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’
At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16. Kitab
Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih
Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab
Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni
(wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim,
karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain,
karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab
Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid
Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai
pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini
dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini. Dan sejumlah ulama’
telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya
Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab
Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman
Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab
Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab
Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya
Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab
Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun
852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal
karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang
dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal
yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan
kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
26. Kitab
Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal,
karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid
Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii
Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk
kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
30. Kitab
Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31. Kitab
At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali
Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi
sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang
menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi,
ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad
Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin
Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap
dari kitab At-Tadzkirah ini.
K. Penutup
Makalah ini membahas
tentang beberapa pembahasan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, ilmu yang meneliti para
perawi hadits untuk mengetahui diterima atau tidak diterimanya suatu riwayat
hadits.
Adapun pembahasannya
meliputi: Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil, Sejarah Perkembangan Ilmu al Jarh wa
at-Ta’dil, Syarat Ulama al-jarh wa
al-Ta’dil, Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan bagi Ulama al-jarh wa
al-Ta’dil, Tata Tertib Ulama al-jarh
wa al-Ta’dil, Syarat Diterimanya al-jarh wa al-ta’dil, Beberapa Hal
yang Tidak Dapat Diterima pada al-jarh wa al-Ta’dil, Tingkatan Lafazh-lafazh al-jarh wa
al-Ta’di, Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-jarh wat-Ta’dil.
Demikianlah
beberapa pembahasan tentang ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, semoga dapat bermanfaat
bagi para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
M.Agus solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2011
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, Yogyakarta: Madani
Pustaka Hikmah, 2003
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1963
Nuruddin ‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits, Bandung: PT Rosdakarya, 1995
[1] M.Agus
solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: CV.Pustaka Setia,
2011, hal. 159
[2] Ibid.,
[3] Suryadi,
Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003,
hal. 27
[4]
Ibid.,hal. 28
[5] Ibid.,
hal 29
[6] Ibid.,
[7] Suryadi
mengutip dari Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1963), hlm. 235
[8]
Suryadi, Metodologi Ilmu..., hal. 31
[9]
Ibid., hal. 35
[11] Ibid.,
hal. 80
[12]
Ibid.,
[14]
Diriwayatkan oleh At-Turmudzi dalam kitab Al-Birr wa ash-Shilah, 4:350, dan ia
berkata bahwa hadits ini hasan gharib. Hadits yang semakna sangat banyak.
[15] Bab
al-Iqazh, 19:115-125, dengan sedikit ringkas.
[16]
Nuruddin’ITR, ‘Ulumu Al-Hadits, hal. 83
[17] Ibid.,
hal. 86
[18] Ibid.,
hal. 90
[19]
Ibid., hal. 91
[20]
Ibid.,
[21]
Ibid., hal. 92
[22] I’tibar dalam pengertian sederhana adalah
serangkaian kegiatan meneliti personalia sanad-sanad suatu hadits tertentu yang
salah satu sanadnya telah ditemukan, untuk mengetahui jumlah sanad yang
sebenarnya, yaitu untuk mengetahui apakah ada syaahid dan taabi’ (mutaaba’ah)
bagi sanad yang pertama ditemukan.
[23]
Nuruddin ITR, ‘Ulum Al-Hadits, hal. 93
[27] http://alatsari.wordpress.com/2007/10/31/jarh-wa-tadil/ di akses tanggal 21 Oktober 2011, pukul
16.13.
[28] Ibid.,
[29] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar